Minggu, 05 April 2015

Konservasi Arsitektur ( Kota Pinang )

Kotapinang adalah sebuah kecamatan sekaligus pusat pemerintahan Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Sumatera Utara, Indonesia.

Jarak kota ini adalah 345 km dari kota Medan, ibukota provinsi Sumatera Utara. Dahulu, ibukota kecamatan ini, Kotapinang yang juga merupakan ibukota Kabupaten Labuhanbatu Selatan pernah menjadi ibukota Kesultanan Kota Pinang.


Kesultanan Kota Pinang berdiri pada tahun 1630 di wilayah yang sekarang menjadi Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Sumatera Utara. Kesultanan ini dikuasai oleh Hindia Belanda pada tahun 1837, sebelum akhirnya melebur ke dalam negara Indonesia pada tahun 1946.
Kesultanan Kota Pinang pada mulanya bernama Kesultanan Pinang Awan. Kesultanan ini didirikan oleh Batara Sinomba atau Batara Gurga Pinayungan Tuanku Raja Nan Sakti, putra Sultan Alamsyah Syaifuddin yang berasal dari Kerajaan Pagaruyung.
Sultan Batara Sinomba kemudian menikah dengan seorang puteri setempat. Ia memperoleh dua orang putra dan seorang putri yang bernama Siti Ungu Selendang Bulan. Kemudian ia menikah lagi dengan seorang putri setempat lainnya dan memperoleh seorang putra. Istrinya yang kedua berusaha mempengaruhi Batara Sinomba agar putranyalah yang kelak menggantikannya sebagai raja, sehingga kedua orang putra raja dari istri yang pertama itu diusir. Setelah membunuh Batara Sinomba berkat bantuan tentara Kerajaan Aceh, maka Sultan Mangkuto Alam putra dari istri yang pertama, naik tahta menjadi sultan Kota Pinang.
Sebagai balas jasa, Siti Ungu dinikahkan kepada raja Aceh, Sultan Iskandar Muda. Kelak keturunan Mangkuto Alam dan Siti Ungu inilah kemudian yang menjadi raja-raja di Kesultanan Asahan, Pannai, dan Bilah.


      Setelah Jepang meninggalkan Indonesia pada tahun 1945, para sultan di Sumatera Timur menghendaki kedudukannya sebagai raja kembali dipulihkan. Namun setahun kemudian, pergerakan anti-kaum bangsawan dalam sebuah Revolusi Sosial Sumatera Timur, tak menginginkan adanya pemulihan sistem feodalisme tersebut. Akibatnya kesultanan-kesultanan yang ada di Sumatera Timur, seperti Deli, Langkat, Serdang, Bilah, Panai, Kualuh, dan Kota Pinang, dipaksa untuk berakhir dan bergabung dengan Republik Indonesia.
Bangunan Istana Kesultanan Kotapinang kini semakin rusak dan memprihatinkan. Tidak ada tanda-tanda perbaikan dari pemerintah daerah maupun perhatian dari keluarga ahli waris Sultan Mustafa. Pantauan wartawan SIB, bangunan bersejarah Kesultanan Kotapinang terlihat semakin rusak mulai dari lantai, dinding, tangga rusak berkeping-keping. Bahkan di sekeliling bangunan bertingkat ditumbuhi semak belukar dan sebidang lahan istana hampir punah berganti menjadi milik rakyat.
Menanggapi tidak adanya tanda-tanda perbaikan ataupun perhatian serius terhadap kondisi bangunan Sultan Mustafa Kotapinang, Iwan pemilik Rumah Makan Nusantara Kotapinang juga mengharapkan dukungan dari pemerintah daerah Kabupaten Labuhanbatu Selatan untuk konservasi dan pelestarian Istana Kesultanan Mustafa Kotapinang dapat dikelola menjadi konteks industri pariwisata.

Sumber : 




Konservasi Arsitektur ( Abu Mena )


Iskandariyah atau Alexandria (Yunani Ἀλεξάνδρεια; Arab الإسكندرية, al-iskandariyyah; Koptik Rakotə) adalah pelabuhan utama di Mesir, dan kota terbesar kedua di negara tersebut, dan juga ibu kota pemerintahan Al Iskandariyah yang terletak di pantai Laut Tengah. Kota ini terletak pada koordinat 31°12′LU 29°15′BT, 208 km di sebelah barat laut Kairo. Ia memiliki populasi 3.341.000.
Dinamakan atas pendirinya, Iskandar yang Agung, dan merupakan tempat penguasa Ptolemaik Mesir yang dengan cepat menjadi kota termegah dari dunia Hellenistik; menjadi nomor dua setelah Roma dalam luas dan kekayaan. Tetapi, setelah pendirian Kairo oleh penguasa Islam Mesir pada zaman pertengahan statusnya sebagai ibu kota negara berakhir, dan mengalami kemunduran, yang pada akhir periode Ottoman berkurang menjadi desa perikanan kecil.
Abu Mena merupakan salah satu situs tertua Kristen dan masuk dalam Daftar Warisan Dunia (World Heritage List) UNESCO pada 1979. Kompleks tersebut mencakup tempat pembaptisan, basilika, bangunan umum, jalanan, rumah-rumah, dan tempat bekerja.
Abu Mena dibangun untuk mengenang Menas (meninggal pada 296 Masehi), seorang perwira tentara Diocletian yang menolak membunuh umat Kristen dan mengakui iman Kristennya.
Kota Abu Mena tumbuh pesat selama abad kelima dan keenam serta menjadi pusat peziarahan. Beberapa puing kota terlihat masih berdiri, fondasi kebanyakan gedung besar seperti basilika pun masih terlihat.


Terletak di daerah pertanian, sejumlah bangunan biara runtuh karena tanah di bawahnya menjadi tidak stabil akibat air bawah tanah. Pemerintah menempatkan pasir di dasar bangunan yang terancam punah di situs tersebut.
Pada 2001, biara Abu Mena masuk dalam daftar WHO mengenai situs yang terancam punah.

Sumber : 

Konservasi Arsitektur ( Hue City )

Huế merupakan nama kota di Vietnam. Letaknya di bagian timur. Tepatnya di Provinsi Thua Thien-Hue. Pada tahun 2005, kota ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 340.000 jiwa. Pada tahun 1802 dan 1945, kota ini merupakan ibu kota Dinasti Nguyến. Kota ini terletak 540 km dari selatan Hanoi dan 644 km utara Hồ Chí Minh.
Hue dulunya adalah ibu kota kerajaan pada masa pemerintahan Dinasti Nguyen. Dinasti Nguyen adalah dinasti kekaisaran terakhir di Vietnam (berkuasa tahun 1802 – 1945), jadi relatif masih baru. Sisa-sisa dari kebesaran kota ini antara lain adalah Citadel, yaitu kompleks yang dulunya adalah istana pada jaman Dinasti Nguyen, dan Royal Tombs, yaitu beberapa kompleks makam para kaisar jaman dahulu. Kota ini tercatat sebagai Warisan Budaya UNESCO pada tahun 1993. Hingga saat ini keturunan dari Dinasti Nguyen masih hidup dan tinggal di pengasingan di Perancis.
Setelah Vietnam menjadi negara komunis, kejayaan Hue meredup. Posisinya berubah menjadi kota biasa yang tidak terlalu tersentuh oleh modernisasi hingga akhir-akhir ini. Nampaknya, baru saat kami datang, kota ini baru mulai menggeliat untuk menggapai kembali kejayaannya. Waktu pertama kali tiba di kota Hue dan diantar dari bandara ke hotel, kami melewati suatu area perumahan yang nampak baru, dimana masih banyak tanah kosong. (Bayangkan daerah perumahan di Cibubur dua belas tahun yang lalu.) Mungkin lima tahun lagi Hue sudah menjadi kota bisnis dan pariwisata yang ramai dengan banyak perumahan baru.
Karena dulunya adalah kota kerajaan, maka di sini ada banyak sekali situs historis yang bisa menjadi tempat wisata. Ada kompleks istana, kompleks makam kaisar, gedung-gedung bersejarah, kebun atau taman bersejarah, dan juga pusat turisme modern seperti pasar dan wisata kuliner. Berikut adalah tempat-tempat yang kami kunjungi selama dua hari kami tinggal di sana.

Hue Imperial City (The Citadel)

Ini adalah kompleks istana kekaisaran pada jaman Dinasti Nguyen. Pada saat Perang Vietnam di tahun 1960-an, kompleks ini hancur akibat serangan dari pihak-pihak yang berperang, baik dari pihak Vietnam Utara maupun dari pihak Vietnam Selatan dan tentara Amerika. Posisi Hue yang strategis, yaitu dekat dengan perbataran Vietnam Utara dan Vietnam Selatan menyebabkan tempat ini menjadi rebutan di antara kedua kekuatan tersebut.
Di saat ini, sebagian kompleks istana ini sudah hancur dan sulit untuk diperbaiki lagi.

 Thien Mu Pagoda

Tempat Wisata Menarik selanjutnya adalah Thien Mu Pagoda (Hue),Vietnam.Pagoda Thien Mu di Hue adalah sebuah pagoda tertinggi di Vietnam. Pagoda ini menghadap ke Sungai Parfum dan dianggap sebagai simbol yang tidak resmi dari bekas ibukota kekaisaran.Candi ini dibangun pada tahun 1601 pada masa pemerintahan Lords Nguyễn.
Pada awal dibangun bangunan ini sangatlah sederhana, tetapi seiring waktu berjalan terus dipugar dan diperluas dengan berbagai fitur yang lebih rumit.

Tu Duc Tomb


Ini adalah kompleks makam dari salah satu kaisar Dinasti Nguyen yang bernama Kaisar Tu Duc. Kompleks seluas 12 hektar ini dibagi menjadi dua areal, yaitu areal kuil (Temple Area) dan areal makam (Tomb Area). Kompleks ini dianggap sebagai kompleks makam kaisar yang paling indah, karena memiliki beberapa taman dan kolam yang melambangkan gunung dan sungai.

Sumber : 

Konservasi Arsitektur ( Ancient Siam City )

Siam Kuno (dulu dikenal sebagai Kota Kuno) (bahasa Thai: เมืองโบราณ, Mueang Boran) adalah taman yang dibangun atas biaya Lek Viriyaphant dan meliputi wilayah seluas 200 acres (0.81 km2) yang berbentuk Thailand.
Ide awal pembuatnya adalah membuat lapangan golf yang dihiasi dengan berbagai benda-benda yang berhubungan sejarah Thailand. Ketika melakukan riset, ternyata dia mengtahui bahwa banyak benda-benda yang dimaksud telah rusak seiring waktu. Akhirnya diputuskan untuk membuat replika dari struktur-struktur tersebut dalam ukuran asli atau skala yang lebih kecil.
Siam Kuno disebut sebagai museum luar ruangan terbesar di dunia. Terletak di dekat Peternakan Buaya di provinsi Samut Prakan, tempat seluas 320-hektar ini memiliki 116 monumen dan bangunan bersejarah dan terkenal di Thailand. Bentuk tanah Siam Kuno disesuaikan dengan bentuk Thailand dan tiap monumen diletakkan di lokasi yang akurat secara geografis. Beberapa replika berukuran asli, sedangkan beberapa lainnya berukuran lebih kecil.
Replika-replika tersebut dibangun dengan bantuan para ahli dari Museum Nasional untuk memastikan keakuratan. Replika yang terkenal di antaranya adalah bekas Istana Agung Ayutthaya (hancur ketika Invasi Burma 1767), Suaka Phimai di Nakhon Ratchasima, dan Wat Khao Phra Viharn di perbatasan Kamboja.
Setiap negara mempunyai bangunan heritage berupa bangunan dan kota tua. Adanya bangunan heritage ini merupakan dokumen sejarah dan “sumber kisah” dari kemegahan dan kejayaan masa lalu.
Di Bangkok terdapat kawasan bernama Ancient Siam (Ancient City). Kawasan ini biasanya disebut kawasan wisata kota tua. Di kawasan ini dibangun bangunan dengan arsitektur yang menjadi ikon di kota-kota provinsi di Thailand. Dengan demikian, tempat ini merupakan tempat berbagai bangunan heritage-nya kota-kota di Thailand yang disatukan seperti Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang terdapat di Jakarta.
Ancient Siam ini mempunyai luas sekitar 250 hektare. Bentuknya sesuai dengan peta negara Thailand. Area Ancient Siam diisi dengan duplikat bangunan megah dengan berbagai ukuran seperti candi, istana, pasar terapung, restoran, patung, gunung, danau, taman, dan masih banyak lagi.
Di sini, terdapat ratusan candi yaitu bangunan yang dibuat identik menyerupai bangunan yang ada atau bangunan kuno dari seluruh Thailand. Di sini, wisatawan juga akan melihat beberapa bangunan yang menakjubkan, termasuk beberapa bangunan seperti Wat Arun, The Grand Palace, dan pasar terapung.



Museum of Siam

Dibuka untuk umum pada tahun 2008, Museum of Siam menawarkan berbagai pengalaman baru baik untuk turis maupun warga Thailand disini.

Dibagi menjadi 3 zona, museum ini memamerkan sesuatu yang berkualitas. Zona pertama adalah Discovery Zone, disini pengunjung bisa mendapatkan ilmu melalui proses mencari dan menemukan. Lanjut ke zona kedua yang bertajuk Collection Zone, disini pengunjung bisa melihat budaya, sejarah, hingga seni. Kemudian, zona ketiga yang diberi nama Knowledge Zone, pengunjung bisa menggali ilmu pengetahuan dalam bentuk berwujud maupun tidak berwujud. Keseluruhan zona, berusaha untuk menjawab segala sesuatu tentang orang gua Thailand, Suvarnabhumi, bagaimana Ayutthaya, peperangan yang pernah terjadi dalam sejarah Thailand, hingga pertanyaan tentang siapa yang menggambar peta Thailand untuk pertama kali.
Di museum seluas 3000 meter persegi ini, memamerkan apa yang disebut sebagai An Essay on Thailand. Segala hal tentang Thailand Kuno, Siam, hingga Thailand Modern pun diungkit disini. Tidak hanya itu, museum ini juga memberikan fasilitas kepada pengunjungnya untuk melihat video berdurasi singkat, namun penuh makna. Selain itu, pengunjung juga akan dihibur melalui DVD, jurnal, hingga buku terkait dengan Thailand. Selain aula besar tempat benda-benda dipertontonkan, disini terdapat pula ruangan seminar dan workshop, cafe, dan toko souvenir.

Sumber : 


Konservasi Arsitektur ( Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur )

Trowulan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia. Kecamatan ini terletak di bagian barat Kabupaten Mojokerto, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Jombang. Trowulan terletak di jalan nasional yang menghubungkan Surabaya-Solo.
Di kecamatan ini terdapat puluhan situs seluas hampir 100 kilometer persegi berupa bangunan, temuan arca, gerabah, dan pemakaman peninggalan Kerajaan Majapahit. Diduga kuat, pusat kerajaan berada di wilayah ini yang ditulis oleh Mpu Prapanca dalam kitab Kakawin Nagarakretagama dan dalam sebuah sumber Cina dari abad ke-15. Trowulan dihancurkan pada tahun 1478 saat Girindrawardhana berhasil mengalahkan Kertabumi, sejak saat itu ibukota Majapahit berpindah ke Daha.

Penggalian di sekitar Trowulan menunjukkan sebagian dari permukiman kuno yang masih terkubur lumpur sungai dan endapan vulkanik beberapa meter di bawah tanah akibat meluapnya Kali Brantas dan aktivitas Gunung Kelud. Beberapa situs arkeologi tersebar di wilayah Kecamatan Trowulan. Beberapa situs tersebut dalam keadaan rusak, sedangkan beberapa situs lainnya telah dipugar. Kebanyakan bangunan kuno ini terbuat dari bahan bata merah.
Candi Tikus
Candi Tikus adalah kolam pemandian ritual (petirtaan). Kolam ini mungkin menjadi temuan arkeologi paling menarik di Trowulan. Nama 'Candi Tikus' diberikan karena pada saat ditemukan tahun 1914, situs ini menjadi sarang tikus. Dipugar menjadi kondisi sekarang ini pada tahun 1985 dan 1989, kompleks pemandian yang terbuat dari bata merah ini berbentuk cekungan wadah berbentuk bujur sangkar. Di sisi utara terdapat sebuah tangga menuju dasar kolam. Struktur utama yang menonjol dari dinding selatan diperkirakan mengambil bentuk gunung legendaris Mahameru. Bangunan yang tidak lagi lengkap ini berbentuk teras-teras persegi yang dimahkotai menara-menara yang ditata dalam susunan yang konsentris yang menjadi titik tertinggi bangunan ini.

Tidak jauh dari Candi Tikus, di desa Temon berdiri gapura Bajang Ratu, sebuah gapura paduraksa anggun dari bahan bata merah yang diperkirakan dibangun pada pertengahan abad ke-14 M. Bentuk bangunan ini ramping menjulang setinggi 16,5 meter yang bagian atapnya menampilkan ukiran hiasan yang rumit. Bajang ratu dalam bahasa Jawa berarti 'raja (bangsawan) yang kerdil atau cacat.' Tradisi masyarakat sekitar mengkaitkan keberadaan gapura ini dengan Raja Jayanegara, raja kedua Majapahit. Berdasarkan legenda ketika kecil Raja Jayanegara terjatuh di gapura ini dan mengakibatkan cacat pada tubuhnya. Nama ini mungkin juga berarti "Raja Cilik" karena Jayanegara naik takhta pada usia yang sangat muda. Sejarahwan mengkaitkan gapura ini dengan Çrenggapura (Çri Ranggapura) atau Kapopongan di Antawulan (Trowulan), sebuah tempat suci yang disebutkan dalam Negarakertagama sebagai pedharmaan (tempat suci) yang dipersembahkan untuk arwah Jayanegara yang wafat pada 1328.

Gapura Wringin Lawang


Wringin Lawang terletak tak jauh ke selatan dari jalan utama di Jatipasar. Dalam bahasa Jawa, "Wringin Lawang" berarti "Pintu Beringin". Gapura agung ini terbuat dari bahan bata merah dengan luas dasar 13 x 11 meter dan tinggi 15,5 meter. Diperkirakan dibangun pada abad ke-14. Gerbang ini lazim disebut bergaya 'candi bentar' atau tipe gerbang terbelah. Gaya arsitektur seperti ini mungkin muncul pada era Majapahit dan kini banyak ditemukan dalam arsitektur Bali. Kebanyakan sejarahwan sepakat bahwa gapura ini adalah pintu masuk menuju kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit. Dugaan mengenai fungsi asli bangunan ini mengundang banyak spekulasi, salah satu yang paling populer adalah gerbang ini diduga menjadi pintu masuk ke kediaman Mahapatih Gajah Mada.

Makam Puri Cempa

Lokasi : Terletak di desa Trowulan, kecamatan Trowulan, dapat dicapai dari peremapatan Trowulan ke arah selatan sekitar 500 m, kemudian pada sebuah simpang tiga belok ke timur sejauh lebih kurang 250m. tepatnya bangunan Makam Putri Cempa di sebelah timur Laut Kolam Segara.
Makam Putri Cempa dikeramatkan terutama pada hari-hari tertentu yaitu pada malam Selasa Kliwon dan Jumat Legi ramai dipenuhi oleh para wisatawan dalam berbagai keperluan. Nama “Putri Cempa” adalah nama yang diberikan berdasarkan cerita rakyat. Obyek yang mempunyai nilai kepurbakalaan adalah batu nisan berangka tahun 1370 Saka (1448 M) dalam huruf Jawa Kuno. Nisan berangka tahun tersebut sebanyak dua buah, yang satu terletak di makam utama yaitu di halaman paling belakang di tempat yang letaknya agak tinggi dan sebuah lagi di halaman tengah dalam ukuran lebih kecil. Yang pertama berukuran, tinggi : 62 cm, lebar ; 43 cm, dan tebal : 13 cm. sedangkan yang kedua, tinggi : 32 cm, lebar : 22 cm, dan tebal : 11 cm. peristiwa apa yang ditandai dengan tahun 1370 Saka tersebut belum dapat dipecahkan. Kemungkinan komplek makam Putri
Cempa adalah makam-makam bangsawan atau Keluarga majapahit yang telah masuk agama islam.

Candi Bajangratu


Lokasi : Candi Bajangratu terletak di Dukuh Kraton, desa Temon kecamatan Trowulan. Perjalanan dapat ditempuh dari perempatan Dukuh Nglinguh ke arah timur sejauh kurang lebih 2 Km. Candi Bajangratu terletak sekitar 200 m masuk ke utara dari jalan desa.
Candi Bajangratu sewaktu ditemukan dalam keadaan yang mengkhawatirkan, untuk menghindari kerusakan, maka pada tahun 1890 dipasangkan balok-balok kayu sebagai penyangga langit-langit. Kemudian diganti dengan besi. Penyelamatan bangunan dari reruntuhan diselesaikan pada tahun 1915, sedang penggalian serta penyelidikan di sekitar candi tahun 1991. Bangunan yang ada sekarang adalah hasil pemugaran dari tahun 1985 / 1986 kemudian dilanjutkan tahun anggaran 1988 / 1989 sampai dengan 1990 / 1991. Bentuk Bangunan
Candi Bajangratu berbentuk Gapura pintu masuk, terbuat dari batu bata merah kecuali undak-undakannya dan bagian atas langit-langit dan ambang atas terbuat dari batu andesit. Candi Bajangratu sebenarnya adalah gapura atau regol, modelnya seperti candi Bentar tetapi ada tutup di atasnya sering disebut Paduraksa diikuti dengan Semartinandu artinya depan dan belakang hampir sama. Candi bajangratu sebelah kiri dan kanan terdapat samprangan dinding yang membujur ke arah timur dan barat. Maka Candi Bajangratu termasuk gapura bersayap. Model semacam ini dapat ditemukan di daerah lain seperti :
  •  Komplek makam Sendang Duwur di Pacitan, Lamongan.
  • Gapuro Jedong di Ngoro, Mojokerto.
  •  Plumbangan di Blitar.

Gapuro Bajangratu tinggi 16,10 meter, lebar 1,74 m dan panjang 11,20 meter. Umurnya candi Jawa Timur berbentuk kubus dan ramping. Bagian mahkota bangunan merupakan perpaduan tingakatan yang merupakan kesatuan makin ke atas makin kecil dan diselingi dengan pelipit-pelipit yang mendatar. Pelipit-pelipit tersebut dihiasi dengan sulur daun-daunan yang pada bagian tengahnya dan bagian sudutnya berhiaskan bentuk “Plata batu” atau monokol simblop artinya semua bagian-bagian tidak ada yang sama jadi hanya satu. Antara menara-menara tersebut juga diselingi pelipit-pelipit mendatar. Yang sangat menarik adanya ukiran-ukiran yang berupa sepasang cakar yang diapit oleh Naga pada bagian atap gapura.
Pada dinding kanan sayap gapura tedapat relief Ramayana sedang pada bagian kaki gapura kanan tangga masuk pada bidang menghadap ke selatan dan timur terdapat relief Sri Tanjung.
Menurut pendapat Sri Suyatmi menghubungkan dengan wafatnya Raja Jayanegara yang mangkat tahun 1328. Apabila pembangunan gapura dilaksanakan 12 tahun setelah pesta Srada maka pendirian gapura Bajangratu berlangsung tahun 1340. Bentuk pintu sudah ada penyangga atap terbuat dari besi. Hal ini masih ada jenang pintu. Kemungkinan gapura ini dulunya berpintu dapat ditutup sebagaimana disebutkan dalam buku Negara Kertagama pintu terbuat dari besi yang berukir.
Candi Bajangratu dalam Mithos :
Ketika permaisuri raja Brawijaya V dari Majapahit yang bernama Dewi Arimbi sedang dalam keadaan hamil sang prabu memerintahkan untuk membangun sebuah gapura dengan maksud sebagai gerbang masuk ke tempat kediaman calon putra mahkota yang akan lahir. Dewi Arimbi adalah sebenarnya seorang puteri raksasa yang berasal dari Negeri Alengka. Ketika kandungan semakin tua dan melahirkan rahasia sang puteri diketahui oleh sang Prabu dan terdorong oleh rasa malu sang puteri kemudian meninggalkan istana dan ke hutan Damarwulan, di Kuncong Kediri. Di sini sang puteri melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Arya Damar.
Pembangunan gapura terpaksa tidak dilanjutkan hanya bagian kiri dan kanan gapura dipahatkan relief raksasa seolah-olah gambar Dewi Arimbi. Karena gapura ini gagal untuk Kraton maka kemudian dikenal dengan nama Bajangratu, artinya wurung tidak jadi ratu. Cerita ini membekas di masyarakat terbukti masih ada kepercayaan tabu, bagi para pejabat pemerintah untuk memasuki gapuro karena akan membawa kesialan (wurung).
Situs penting lainnya antara lain:
  •   Balong Bunder
  • Balai Penyelamatan
  • Situs pengrajin emas dan perunggu
  •  Nglinguk
  • Candi Kedaton
  • Sentonorejo
  • Candi Sitinggil
  • Candi Jedong
   Sumber : 


Konservasi Arsitektur ( Yogyakarta )

Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Daerah Istimewa setingkat provinsi di Indonesia yang merupakan peleburan Negara Kesultanan Yogyakarta dan Negara Kadipaten Paku Alaman. Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak di bagian selatan Pulau Jawa bagian tengah, dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan Samudera Hindia.
Daerah Istimewa yang memiliki luas 3.185,80 km2 ini terdiri atas satu kota, dan empat kabupaten, yang terbagi lagi menjadi 78 kecamatan, dan 438 desa/kelurahan. Menurut sensus penduduk 2010 memiliki jumlah penduduk 3.452.390 jiwa dengan proporsi 1.705.404 laki-laki, dan 1.746.986 perempuan, serta memiliki kepadatan penduduk sebesar 1.084 jiwa per km2[6].
Penyebutan nomenklatur Daerah Istimewa Yogyakarta yang terlalu panjang menyebabkan sering terjadinya penyingkatan nomenklatur menjadi DI Yogyakarta atau DIY. Daerah Istimewa ini sering diidentikkan dengan Kota Yogyakarta sehingga secara kurang tepat sering disebut dengan Jogja, Yogya, Yogyakarta, Jogjakarta.
Walaupun memiliki luas terkecil ke dua setelah Provinsi DKI Jakarta, Daerah Istimewa ini terkenal di tingkat nasional, dan internasional, terutama sebagai tempat tujuan wisata andalan setelah Provinsi Bali. Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami beberapa bencana alam besar termasuk bencana gempa pada tanggal 27 Mei 2006, dan erupsi Gunung Merapi pada medio Oktober-November 2010.
Yogyakarta memiliki peninggalan-peninggalan karya arsitektur yang bernilai tinggi dari segi kesejarahan maupun arsitekturalnya, terutama peninggalan bangunan bergaya jaman kolonial Belanda. Peninggalan karya arsitektur jaman kolonial Belanda di Yogyakarta antara lain berupa: bangunan-bangunan benteng, perkantoran dan kawasan perumahan. Salah satu peninggalan karya arsitektur jaman kolonial Belanda yang terkenal di Yogyakarta adalah kawasan perumahan Kotabaru. Selain kekhasan secara fisik, terdapat aspek kesejarahan yang menjadikan kawasan Kotabaru menjadi kawasan yang khusus dalam hubungannya dengan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kekhasan kawasan Kotabaru terlihat secara visual sangat terasa berbeda dengan sebagian besar kawasan-kawasan di Yogyakarta yang lain.
Bila kawasan-kawasan di pusat kota lain cenderung tampilan visualnya didominasi oleh wajah bangunan, tidak demikian halnya dengan kawasan Kotabaru. Pepohonan yang rindang di bagian depan bangunan dan ruang-ruang tepi jalan mendominasi karakteristik visual kawasan ini. Cakupan wilayah yang relatif luas dan fungsi-fungsi bangunan di kawasan ini, terutama di masa awal pembentukannya, menjadikan masyarakat sering menyebut kawasan Kotabaru dirancang dengan inspirasi konsep Garden City
Peta Kawasan Kotabaru terhadap Kotamadya Yogyakarta
(Sumber: Kristiawan, 2013)

Kawasan Kota Baru merupakan kawasan perumahan bagi orang Belanda yang dibangun setelah Perang Dunia I, atau pada akhir pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VII yaitu tahun 1877   1921. Kawasan ini merupakan kawasan yang benarbenar baru dibangun terpisah dari Kota Yogyakarta lama.
Bila diperhatikan dengan seksama pada awal keberadaannya, kawasan perumahan atau perkampungan di Yogyakarta berkembang bersama-sama dengan perkembangan pembangunan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Perkampungan yang ada, pada awal berdirinya dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu perkampungan untuk kaum pribumi dan untuk orang asing (orang eropa dan “orang kulit putih” lainnya).
Perkampungan untuk kaum pribumi di luar keraton dimulai dari kampung-kampung untuk perumahan atau asrama-asrama para anak buah angkatan perang dan para perwiranya. Perumahan untuk orang asing (Belanda) di Yogyakarta dimulai  dengan ijin berdirinya benteng Vredeburg. Selanjutnya beberapa daerah di Yogyakarta diperkenankan berdiri tempat tinggal untuk orang kulit putih atau Eropa. Daerah-daerah tersebut mulai dari kawasan Loji Kecil, yang berada di sekitar Benteng Vredeburg. Berkembangnya jumlah orang Eropa yang masuk ke sekitar wilayah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memerlukan tempat tinggal untuk bermukim. 
Ditinjau dari sisi sejarah, kawasan tempat tinggal bagi orang Eropa di sekitar Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dimulai dari kawasan Loji Kecil, meluas ke jalan Setyodiningratan, Kampung Bintaran, kampung Jetis hingga terakhir di Kota Baru (Darmosugito, 1956). Cornelis Canne sebagai residen saat itu meminta ijin pada Sri Sultan Hamengku Buwana VII agar diperbolehkan menggunakan lahan di sebelah utara kota guna tempat permukiman khusus orang Eropa. Hal ini dilakukan karena jumlah orang Eropa semakin banyak dan Kawasan Bintaran juga semakin sesak.
Lahan yang tersedia tersebut berada di sebelah timur Sungai Code (di lahan yang disewa oleh perkebunan tebu Muja-Muju), yang akhirnya dibangun sebagai kawasan permukiman bernama nieuwe wijk (Bruggen & Wassing, 1998 dalam Wahyu, 2011).
Periode penting yang dilalui kawasan Kotabaru dalam perkembangannya terjadi sebelum kemerdekaan, masa kemerdekaan dan setelah kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan kawasan Kotabaru melewati masa Penjajahan Belanda dan masa Penjajahan Jepang. Masa Penjajahan Belanda merupakan awal berdirinya kawasan perumahan Kotabaru yaitu tahun 1920, yang dibangun Belanda untuk perumahan khusus bagi bangsa Eropa. Mereka bekerja di bidang pemerintahan dan sector perkebunan.
Masuknya bangsa Jepang menjajah Indonesia, membuat kawasan Kotabaru dialihtangankan pengelolaannya ke tangan Jepang. Oleh banga Jepang Kawasan Kotabaru dimanfaatkan sebagai kawasan perkantoran, perumahan, tangsi dan gudang. Walaupun dilakukan perubahan fungsi pada bangunan, namun tidak dilakukan perubahan fisik bangunan yang signifikan. Periode kemerdekaan Indonesia tahun 1945 terhadap kawasan Kotabaru tidak berakibat pada perubahan pada fisik bangunan, namun terjadi peristiwa-peristiwa penting bagi perjuangan kemerdekaan yang terjadi. Peristiwa penting yang terjadi kawasan Kotabaru masa kemerdekaan dikenal dengan peristiwa “Pertempuran Kotabaru”. Tepatnya terjadi pada tanggal 7 Oktober 1945, yang berawal dari kegiatan pelucutan senjata tentara Jepang oleh kaum pemuda yang tidak menemui titik temu sehari sebelumnya.
Hal ini berakibat meletusnya pertempuran dengan tentara Jepang pada tanggal tersebut. Terdapat 21 orang pemuda Indonesia yang gugur dan 360 tentara Jepang yang ditawan (Wahyu, 2011). Akibat secara fisik peristiwa “Pertempuran Kotabaru” terhadap kawasan Kotabaru terjadi sesudahnya, yaitu pada masa setelah kemerdekaan dengan dibangunnya monumen-monumen untuk mengenang peristiwa tersebut.
Setelah masa kemerdekaan perubahan secara fisik sangat mencolok terjadi di kawasan Kotabaru, terutama setelah tahun 1997. Hal ini terjadi setelah mulai berubahnya fungsi bangunan rumah tinggal menjadi fungsi lainnya. Fungsi baru yang mengubah fungsi rumah tinggal di kawasan Kotabaru terutama adalah fungsi bangunan komersial (toko, dan restoran), fungsi bangunan  perkantoran, fungsi bangunan kesehatan dan fungsi bangunan pendidikan.
Karakteristik kawasan yang kuat terletak pada struktur kawasan yang berpola radial dan ruang terbuka hijau yang luas. Bila memasuki kawasan Kotabaru akan didapat suasana berbeda dengan kawasan Yogyakarta lainnya yang kebanyakan masih tertata mengikuti arah mata angin. Pohon-pohon besar, tanaman ditaman dan tanaman buah banyak terdapat di kawasan ini. Area hijau yang luas terdapat di kawasan Kotabaru yang dilengkapi boulevard dan ruas jalan yang cukup lebar  dengan pepohonan di kiri dan kanannya.

Salah Satu Boulevard di Kawasan Kotabaru
Secara arsitektural karakteristik arsitektural bangunan jaman kolonial Belanda marupakan karakteristik ekspresi bangunan yang dominan di kawasan Kotabaru Yogyakarta. Karakteristik tersebut terdapat secara spesifik pada aspek skala yang cenderung lebih besar, proporsi kepala-badan-kaki bangunan, permukaan dan prinsipprinsip desainnya. Antara bangunan satu dengan bangunan lain memiliki ciri khas berupa ruang terbuka hijau yang sebelumnya ditanami pepohonan atau berupa taman.
Contoh Bangunan Gaya Jaman Kolonial Belanda di Kawasan Kotabaru
Sumber: Yanuarius Benny Kristiawan

Kesimpulan :
Memang selama ini Yogyakarta sudah mampu menjual beberapa heritage-nya sebagai obyek wisata seperti Candi Prambanan, Candi Ratu-Boko, komplek Kerajaan Mataram Islam (Keraton), Taman Sari, Pakualaman, makam raja-raja Imogiri, serta makam Kotagede. Namun, keberadaan bangunan heritage yang sudah dijual, masih bisa dihitung dengan jari. Padahal, kekuatan mahadahsyat lainnya, masih tersimpan cukup banyak. Ibarat pasukan tempur, DIY masih memiliki ribuan “amunisi”, yang siap dimuntahkan guna “menembak” para wisatawan untuk datang ke kawasan ini. Disisi inilah, para pemangku kepentingan yang berkaitan dengan wisata “kota tua” DIY, perlu berkreasi, dan berinovasi untuk lebih menggali potensi kekayaan bangunan heritage beserta dengan budaya yang dimilikinya.

Sumber :